Selasa, 15 November 2011

Sore Pada suatu ingatan



Hari ini matahari bersinar tidak begitu terik, saya sedang duduk di gedung belakang sekolah menunggu seseorang karena semestinya hari ini adalah hari istimewa untuk kami berdua. Saya duduk tepat di bawah pohon asam ranji muda yang bunganya beraroma sangat khas di hidung. Dimanapun saya mencium aroma ini, ingatan saya akan selalu hinggap pada gedung  tempat saya belajar ini.
Sepatu kanves putih pudar di kaki saya menendang-nendang batu kerikil, berkali – kali, kadang menebarkan debu kotor yang akhirnya menempel pada sepatu dan celana panjang yang saya kenakan. Sudah hampir setengah jam teman yang saya tunggu kehadirannya tak kunjung datang. Saya akan menunggunya setengah jam lagi sebelum pulang, teman saya itu punya kebiasaan suka terlambat.



Tapi, baiklah, satu setengah jam kemudian dia belum muncul juga, atau mungkin dia lupa tentang hari ini. Mungkin sebentar lagi. Beberapa menit lagi.


Saya mengambil sebatang rokok, melongok ke kiri dan kanan mencari – cari.

Suasana sudah sudah sepi, beberapa temanr  terlihat mulai berkumpul memasuki aula  ketika saya beranjak. Saya heran, mahasiswa lain termasuk mungkin mereka itu tadi terkadang memandang saya seperti menyembunyikan sesuatu. Pandangan tak biasa kerap kali saya dapatkan ketika duduk di tempat ini, entah, padahal saya tak merasa melakukan sesuatu yang salah.

Saya berjalan, sambil sesekali celingukan mencari teman saya barangkali 'nyangkut' di salah satu ruangan.



*****



Akhirnya kami saling bertatapan, duduk berhadapan di sebuah tempat makan.

Meja yang saya pilih agak tersembunyi di belakang partisi kayu berplester dengan dinding kacanya langsung menghadap ke taman bunga kecil di halaman samping kafe.
Kami sangat jarang bisa bertemu seperti ini, hari ini adalah hari istimewa kami yang kesekian kalinya. Jarak pertemuan kami yang terakhir dengan pertemuan kali ini adalah yang terlama, namun tidak ada satupun yang berubah dari diri teman saya ini.

Tatapan matanya yang sayu itu mengatakan bahwa dia rindu pada saya, dia ingin mengatakannya, saya paham itu, saya mengerti betul kenapa dia tak mampu berkata – kata.



"saya juga sangat rindu kamu, tidak perlu kamu berkata saya sudah tahu"
saya berkata sambil terus menatap matanya


Dia menunduk, wajahnya itu serupa bayangan mendung kelabu di langit musim dingin. Saya mengusap pipinya pelan dengan tangan bergetar, terasa dingin seperti pualam, kemudian saya usap poni ijuknya dan mengacaknya pelan. Matanya kembali mendapatkan saya dan tersenyum, tetapi saya tahu senyum itu kering dan hambar. Suatu perih membuncah dalam sisi tersembunyi dalam diri saya.
Bertahun – tahun saya menjalin pertemanan dengannya, sedikitpun tak ada hal yang mampu merubah apa - apa yang ada padanya. Jauh sebelum ini, dia adalah seorang yang ceria dan periang, dia jugalah yang selalu menyemangati saya setiap harinya. Dia sahabat saya, sahabat terbaik dalam kehidupan saya.

Sebelum saya melakukan kesalahan yang membuat segalanya berubah, alam akan mengutuk karena saya begitu jahatnya!! Setiap saya mencoba meminta maaf, dia akan menutup mulut saya dan merangkul saya tanpa kata – kata. Saya tahu saya yang menyebabkan dia berubah menjadi seseorang yang lain, begitu murung...begitu mendung.


"saya dapat pekerjaan baru"  ungkap saya tak begitu antusias
ia membalas dengan tersenyum berseri

"mungkin nantinya saya akan pindah ke lain kota "


Kini giliran saya tertunduk, tangannya meraih dagu saya.
Demi Tuhan, setiap kali berhadapan dengannya saya tak bisa menahan diri untuk menangis, persis seperti anak kecil yang direnggut mainannya secara paksa. Semua bermuara pada suatu lubang hitam yang lama saya cipta.

"saya tak akan bisa lagi mengunjungimu disini, bertemu denganmu lag disini...., maafkan saya nda, maafkan saya..."


Tangis saya tak tertahan lagi, tumpah begitu saja di meja kafe yang tidak begitu ramai pengunjung itu. Perih yang sedari tadi saya rasakan telah mencapai puncaknya, seakan bergetar pandangan mata saya memburam. Sepenuhnya saya sadar, pertemuan kali ini mungkin saja akan jadi cerita terakhir antara kami yang terangkum dalam memori berwarna abu - abu.

Tangannya terjulurpelan  menggenggam erat jari saya. Namun seperti biasa, dia tetap terdiam tanpa bahasa. Saat saya mengangkat kepala kembali, dia telah berpindah duduk disamping saya. Matanya kian sayu, mata seorang yang bersiap menerima sekali lagi sebuah kehilangan, layaknya saya dulu. Langit diluar begitu biru, syahdu mengiringi dua makhluk saling berhadapan menuju kenyataan akan sebuah perpisahan.

Senyumnya mengembang namun kecut. Di pelupuk mata saya dia terlihat begitu kecil dan jauh. Kemeja putihnya berbayang dan pudar dalam pandangan mata saya yang makin berair. Kami berpelukan lama sebelum kemudian dia beranjak dari meja. Tenggorokan saya tercekat tak mampu berkata jangan beranjak, sungguh sekuat hati saya ingin berteriak padanya jangan pergi. Setidaknya untuk mengucapkan selamat tinggal namun lidah saya kelu, alhasil mulut saya hanya megap - megap tanpa suara. Tangan dan kaki saya pula serupa lumpuh tak bernyawa, saya masih begitu merindukannya. Harusnya ini jadi hari istimewa untuk kami berdua, hari ulang tahunnya. Hari yang sempat hilang beberapa lama, sebelum saya menemukannya kembali sore ini di tempat biasa kami dulu bercanda penuh tawa dan cerita.


Dia sungguh tak pernah berubah, tetap sama seperti yang dulu saya kenal. Berkemeja putih dengan logo OSIS berwarna kuning di saku kirinya, celana pendek berwarna biru itu selalu agak melorot dibawah pinggangnya. Saya memandanginya pergi menuju pintu kafe, hilang dibalik dinding – dinding yang tidak saya kenali.




******




Semua orang di sekolah menganggapank umur 20+ itu aneh. Kadang dia suka menyendiri. Setiap hari dia selalu datang pagi-pagi menunggu seseorang yang datang di gerbang sekolah, mungkin temannya. Tetapi tak ada seorangpun yang ditunggunya itu muncul. Setelah murid terakhir masuk dan gerbang ditutup dia akan melangkah menjuju kelas dengan kepala tertunduk.
Begitupun si, anak itu selalu berlari menuju taman belakang sekolah di dekat kantin, lalu duduk disana, lagi-lagi seolah menunggu seseorang, mungkin temannya. Biasanya dia bertahan disana sekitar satu hingga dua jam, hampir bisa dipastikan teman itu tak pernah datang. Dan akhirnya dia pulang dengan wajah lesu. Tak jarang dia berkeliling area sekolah, mencari temannya yang entah sedang bersembunyi dimana.


Dulu saya lihat dia tidak begitu, dulu dia dikenal sebagai anak yang ceria, supel, dan banyak teman. Sekarang kemanapun dia berjalan, seperti ada gumpalan mendung kelabu diatas kepalanya.

Yang saya tahu beberapa bulan lalu dia mengalami kecelakaan bersama temannya dari kelas 2-4 saat pulang sekolah. Anak laki-laki itu meninggal dua hari kemudian di RS, dia sendiri kalau tidak salah baru tahu beberapa hari setelah pemakaman. Saya ingat ketika mendapat berita duka itu beberapa perwakilan guru dan murid menghadiri pemakamannya, termasuk saya waktu itu, saya memang tidak melihat anak perempuan itu di pemakaman. Dan selama tujuh hari sekolah kami mengadakan acara doa bersama di lapangan sekolah. Peristiwa yang sangat menyedihkan sampai sekarang.


Saya tahu  mereka memang bersahabat dekat, berangkat dan pulang sekolah mereka selalu berdua.
Beberapa teman saya yang ikut latihan bela diri seusai sekolah kadang melihat dia menangis di taman belakang sekolah. Tempat dia dulu biasa menunggu anak laki – laki itu untuk pulang bersama. Namun kasihan dia jadi aneh seperti itu, mungkin sesuatu dalam kepalanya bergeser saat kecelakaan itu terjadi. Kasihan dia.



******



document
Aam,

11 Mei 2010 lalu

jakarta 16 Nove 2011


MunGkiN akU takkaN perNah bi5a
unTuk ungkaPkan
SeMua rasa ciNta ini
Meski aku sadari.........
Jauh didasar hatiku
Ada gEetaRan rasa yang meMbuAtku ingin selaLu
MeMandangmu......
Jujur saja kuakui... Aku adalah pemujamu
Yang seLaLu berharap tanpa berani berkATa

Terlanjur aku, MeMuja dirimu
Me5ki kau jaUh dari sisilu.....
Ijinkan aku untuk Teru5, dan akan seLALLu
Mencintaimu

BiLa muNgkin aDa waktu Lagi
Untukku dapAtkan cintamU
Aku takkan pernah berhenti
Hin99a tiba mAsa itu


wAT BiNtNg HaTi YaNg DuLu PeRnAh SiNgGaH dI hAtI Q….
wAT BiNtNg HaTi YaNg DuLu PeRnAh SiNgGaH dI hAtI Q….
^^Q bUkAn Na MeNyEsALi….buKaN mErAtApi..BuKaN pUlA mEnGiNgKaRI…..
Q tAu SmUa Ne PaStI tRJdi,,,TaPi HaRuSkAh BeRaKhIr sECePaT iNI????
hArUsKaH bErAkHiR sEpErTi iNi???…jIkA sAyaNg InI MeMaNG tERLaRaNG…DeNGaN hAtI TerLuKa CoBa q PaKsAkAN uNtUk KaTaKaN….
PeRgIlAH…..
pErgIlAh mEnCaRi mAsa DepAn mou….dAn Aq…
AqAkAn TeTaO hiDuP dAlAm MEnGenANG MaSA Lalu SaAT_SaAT InDah BeRSamA Mouuu………………MeT TiNGGal………………
SemoGa SeLAmT sMpai TujuAn
AamVan YogaZ


Menjadi Seorang Penulis…

Beberapa saat yang lalu rada kesel sama tingkah seorang penulis. Hmm…habisnya apa yang beliau tulis kok ya sekarang gak dia lakuin lagi, walopun sebelumnya pernah beliau lakukan sebelum menulis buku itu. Karena buat saya, ketika menulis ada tanggung jawab moral yang berusaha senantiasa dijaga. Agar apa yang disampaikannya sesuai dengan yang ia perbuat, baik sebelum nulis buku maupun setelah buku itu tebit. Karena ke galauan yang tak jelas ini maka….

Sempet diskusi beberapa hari yang lalu sama Kak Arya (Arya Sandhiyudha) & Kang Yusuf (Ridwansyah Yusuf Achmad).
Kalo kata kak Arya,, “penulis kan hanya perangkai kata. tak ada tanggung-jawab moral ketika telah melaksanakan kata yg ditulisnya”
Lain lagi ketika nanya sama kang Yusuf,, “saya menulis untuk menginspirasi orang. Tanggung jawab secara moral sudah pasti”

Nah..monggoh sahabat semua milih yang mana…
Ternyata setiap penulis memiliki pemikiran sendiri-sendiri

Tetap berkarya,,, orehkan sejarah untuk bangsa ini^^

15112011

Sudah lama ingin ku tuliskan…

Yah…sore itu menjelang magrib…

Didepanku berdiri sekelompok manusia…

Yang dengan semangatnya memberikan persembahan untuk kita…

Senyum lebar ku sunggingkan ketika mereka mengajakku untuk berfoto bersama

Dari belakang aku hanya mampu berdiri terpaku

Entah apa yang ada difikiranku

Aku hanya mampu berdoa Ya Rabb…

Inikah yang kau amanahkan kepada kami?

Betapa berat Ya Allah…menjaga keistiqomahan

Mempertahankan agar mereka terus berjalan dengan jalan ini

Hanya tetesan air mata yang menemaniku di senja itu

Aku tak kuasa menahan beratnya amanah yang Kau titipkan…

Hingga aku berjalan menuju parkiran…yang ada dikepalaku hanyalah titipan yang Engkau berikan…

Titipan yang merupakan amanah besar untuk kami

Ya Rabb…

Berikan tangan-tangan gaib itu kepada kami

Berikan kekuatan kepada kami untuk terus memberikan persembahan terbaik untuk-Mu

^- * apa Kata Hatiku

sebelum berangkat dalam misi Kita aku mengirimkansms  kepada dia yang berisi
SELA AKAN PERGI JAUH
3 NADA 6 KETUKAN
betapa bahagianya diai mendapat kiriman tersebut karena istilah itu didapatkan mereka berdua dari ((((mbuh bukue ora ketemu dadi ceritae kurang pas))))))) yang berarti ===
3 nada = aku cinta kamu
6 ketukan = K  A  N  G  E  N
dasar PICISAN gumam dilai dalam hati
[seklumit bab dalam buku Elang Retak ---> bahkan cerita militer pun tak akan sedap tanpa bumbu asmara]