Hari ini matahari bersinar tidak begitu terik, saya sedang duduk di gedung belakang sekolah menunggu seseorang karena semestinya hari ini adalah hari istimewa untuk kami berdua. Saya duduk tepat di bawah pohon asam ranji muda yang bunganya beraroma sangat khas di hidung. Dimanapun saya mencium aroma ini, ingatan saya akan selalu hinggap pada gedung tempat saya belajar ini.
Sepatu kanves putih pudar di kaki saya menendang-nendang batu kerikil, berkali – kali, kadang menebarkan debu kotor yang akhirnya menempel pada sepatu dan celana panjang yang saya kenakan. Sudah hampir setengah jam teman yang saya tunggu kehadirannya tak kunjung datang. Saya akan menunggunya setengah jam lagi sebelum pulang, teman saya itu punya kebiasaan suka terlambat.
Tapi, baiklah, satu setengah jam kemudian dia belum muncul juga, atau mungkin dia lupa tentang hari ini. Mungkin sebentar lagi. Beberapa menit lagi.
Saya mengambil sebatang rokok, melongok ke kiri dan kanan mencari – cari.
Suasana sudah sudah sepi, beberapa temanr terlihat mulai berkumpul memasuki aula ketika saya beranjak. Saya heran, mahasiswa lain termasuk mungkin mereka itu tadi terkadang memandang saya seperti menyembunyikan sesuatu. Pandangan tak biasa kerap kali saya dapatkan ketika duduk di tempat ini, entah, padahal saya tak merasa melakukan sesuatu yang salah.
Saya berjalan, sambil sesekali celingukan mencari teman saya barangkali 'nyangkut' di salah satu ruangan.
*****
Akhirnya kami saling bertatapan, duduk berhadapan di sebuah tempat makan.
Meja yang saya pilih agak tersembunyi di belakang partisi kayu berplester dengan dinding kacanya langsung menghadap ke taman bunga kecil di halaman samping kafe.
Kami sangat jarang bisa bertemu seperti ini, hari ini adalah hari istimewa kami yang kesekian kalinya. Jarak pertemuan kami yang terakhir dengan pertemuan kali ini adalah yang terlama, namun tidak ada satupun yang berubah dari diri teman saya ini.
Tatapan matanya yang sayu itu mengatakan bahwa dia rindu pada saya, dia ingin mengatakannya, saya paham itu, saya mengerti betul kenapa dia tak mampu berkata – kata.
"saya juga sangat rindu kamu, tidak perlu kamu berkata saya sudah tahu"
saya berkata sambil terus menatap matanya
Dia menunduk, wajahnya itu serupa bayangan mendung kelabu di langit musim dingin. Saya mengusap pipinya pelan dengan tangan bergetar, terasa dingin seperti pualam, kemudian saya usap poni ijuknya dan mengacaknya pelan. Matanya kembali mendapatkan saya dan tersenyum, tetapi saya tahu senyum itu kering dan hambar. Suatu perih membuncah dalam sisi tersembunyi dalam diri saya.
Bertahun – tahun saya menjalin pertemanan dengannya, sedikitpun tak ada hal yang mampu merubah apa - apa yang ada padanya. Jauh sebelum ini, dia adalah seorang yang ceria dan periang, dia jugalah yang selalu menyemangati saya setiap harinya. Dia sahabat saya, sahabat terbaik dalam kehidupan saya.
Sebelum saya melakukan kesalahan yang membuat segalanya berubah, alam akan mengutuk karena saya begitu jahatnya!! Setiap saya mencoba meminta maaf, dia akan menutup mulut saya dan merangkul saya tanpa kata – kata. Saya tahu saya yang menyebabkan dia berubah menjadi seseorang yang lain, begitu murung...begitu mendung.
"saya dapat pekerjaan baru" ungkap saya tak begitu antusias
ia membalas dengan tersenyum berseri
"mungkin nantinya saya akan pindah ke lain kota "
Kini giliran saya tertunduk, tangannya meraih dagu saya.
Demi Tuhan, setiap kali berhadapan dengannya saya tak bisa menahan diri untuk menangis, persis seperti anak kecil yang direnggut mainannya secara paksa. Semua bermuara pada suatu lubang hitam yang lama saya cipta.
"saya tak akan bisa lagi mengunjungimu disini, bertemu denganmu lag disini...., maafkan saya nda, maafkan saya..."
Tangis saya tak tertahan lagi, tumpah begitu saja di meja kafe yang tidak begitu ramai pengunjung itu. Perih yang sedari tadi saya rasakan telah mencapai puncaknya, seakan bergetar pandangan mata saya memburam. Sepenuhnya saya sadar, pertemuan kali ini mungkin saja akan jadi cerita terakhir antara kami yang terangkum dalam memori berwarna abu - abu.
Tangannya terjulurpelan menggenggam erat jari saya. Namun seperti biasa, dia tetap terdiam tanpa bahasa. Saat saya mengangkat kepala kembali, dia telah berpindah duduk disamping saya. Matanya kian sayu, mata seorang yang bersiap menerima sekali lagi sebuah kehilangan, layaknya saya dulu. Langit diluar begitu biru, syahdu mengiringi dua makhluk saling berhadapan menuju kenyataan akan sebuah perpisahan.
Senyumnya mengembang namun kecut. Di pelupuk mata saya dia terlihat begitu kecil dan jauh. Kemeja putihnya berbayang dan pudar dalam pandangan mata saya yang makin berair. Kami berpelukan lama sebelum kemudian dia beranjak dari meja. Tenggorokan saya tercekat tak mampu berkata jangan beranjak, sungguh sekuat hati saya ingin berteriak padanya jangan pergi. Setidaknya untuk mengucapkan selamat tinggal namun lidah saya kelu, alhasil mulut saya hanya megap - megap tanpa suara. Tangan dan kaki saya pula serupa lumpuh tak bernyawa, saya masih begitu merindukannya. Harusnya ini jadi hari istimewa untuk kami berdua, hari ulang tahunnya. Hari yang sempat hilang beberapa lama, sebelum saya menemukannya kembali sore ini di tempat biasa kami dulu bercanda penuh tawa dan cerita.
Dia sungguh tak pernah berubah, tetap sama seperti yang dulu saya kenal. Berkemeja putih dengan logo OSIS berwarna kuning di saku kirinya, celana pendek berwarna biru itu selalu agak melorot dibawah pinggangnya. Saya memandanginya pergi menuju pintu kafe, hilang dibalik dinding – dinding yang tidak saya kenali.
******
Semua orang di sekolah menganggapank umur 20+ itu aneh. Kadang dia suka menyendiri. Setiap hari dia selalu datang pagi-pagi menunggu seseorang yang datang di gerbang sekolah, mungkin temannya. Tetapi tak ada seorangpun yang ditunggunya itu muncul. Setelah murid terakhir masuk dan gerbang ditutup dia akan melangkah menjuju kelas dengan kepala tertunduk.
Begitupun si, anak itu selalu berlari menuju taman belakang sekolah di dekat kantin, lalu duduk disana, lagi-lagi seolah menunggu seseorang, mungkin temannya. Biasanya dia bertahan disana sekitar satu hingga dua jam, hampir bisa dipastikan teman itu tak pernah datang. Dan akhirnya dia pulang dengan wajah lesu. Tak jarang dia berkeliling area sekolah, mencari temannya yang entah sedang bersembunyi dimana.
Dulu saya lihat dia tidak begitu, dulu dia dikenal sebagai anak yang ceria, supel, dan banyak teman. Sekarang kemanapun dia berjalan, seperti ada gumpalan mendung kelabu diatas kepalanya.
Yang saya tahu beberapa bulan lalu dia mengalami kecelakaan bersama temannya dari kelas 2-4 saat pulang sekolah. Anak laki-laki itu meninggal dua hari kemudian di RS, dia sendiri kalau tidak salah baru tahu beberapa hari setelah pemakaman. Saya ingat ketika mendapat berita duka itu beberapa perwakilan guru dan murid menghadiri pemakamannya, termasuk saya waktu itu, saya memang tidak melihat anak perempuan itu di pemakaman. Dan selama tujuh hari sekolah kami mengadakan acara doa bersama di lapangan sekolah. Peristiwa yang sangat menyedihkan sampai sekarang.
Saya tahu mereka memang bersahabat dekat, berangkat dan pulang sekolah mereka selalu berdua.
Beberapa teman saya yang ikut latihan bela diri seusai sekolah kadang melihat dia menangis di taman belakang sekolah. Tempat dia dulu biasa menunggu anak laki – laki itu untuk pulang bersama. Namun kasihan dia jadi aneh seperti itu, mungkin sesuatu dalam kepalanya bergeser saat kecelakaan itu terjadi. Kasihan dia.
******
document
Aam,
Aam,
11 Mei 2010 lalu